karna kedua orangtua saya berasal dari kota cirebon dan saya pula di lahirkan di kota cirebon tercinta ini saya ingin berbagi sedikit cerita tentang kebudayaan kota udang ini walaupun hanya beberapa saja ,berikut cuplikan nya cekidot :)
CIREBON JEH !!!
Kota ini berada di pesisir utara Pulau Jawa atau yang dikenal
dengan jalur pantura
yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya.
Pada awalnya Cirebon berasal dari kata sarumban[4],
Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa.
Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang kemudian
diberi nama Caruban[5]
(carub dalam bahasa Cirebon artinya bersatu padu). Diberi nama
demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa
diantaranya Sunda,
Jawa, Tionghoa, dan
unsur-unsur budaya bangsa Arab), agama, bahasa, dan adat istiadat.
kemudian pelafalan kata caruban berubah lagi menjadi carbon dan
kemudian cerbon.
Selain karena faktor penamaan tempat penyebutan kata cirebon
juga dikarenakan sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah
nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil)
di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air
bekas pembuatan terasi atau yang dalam bahasa
Cirebon disebut (belendrang) yang terbuat dari sisa pengolahan udang
rebon inilah berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air
rebon), yang kemudian menjadi cirebon.
Budaya Cirebon adalah sebuah entitas yang khas dan unik,
tidak bisa diabaikan begitu saja dalam kajian kebudayaan etnis di Indonesia.
Kondisi geografisnya sangat memungkinkan terjadinya persilangan budaya,
terutama budaya Sunda, Jawa, Cina, Arab, India, dan terakhir budaya Barat yang
diterima dengan penuh bangga oleh kaum muda.
Masa-masa
kolonial dan pemaksaan sikap feodalistik telah menimbulkan suatu sikap
Resistence of Colonised perlawanan si terjajah terhadap coloniser (penjajah).
Posisi Geopolitik Cirebon memaksakan keharusan kepemimpinan yang kuat, ”lemah
berarti bencana”. Di tengah dua kekuatan politik dan militer (Mataram dan Belanda)
dan dua kekuatan kultural (Sunda dan Jawa) yang sebagai the other. Sikap
egaliternya merasa diinjak-injak, tak mampu melakukan perlawanan fisik karena
kehilangan daya organisasinya. Wong Cherbon melakukan pemerdekaan kultural.
Dengan
mencomot bagian-bagian budaya para penghimpitnya, lahirlah suatu kultur yang
diakui sebagai jati diri wong Cherbon, tanpa membuat para penghimpitnya
tersinggung, karena sikap konfrontasinya dihilangkan dan karakteristik
koeksistensi dan kooperasinya dikedepankan. Cirebon pun menjadi khas pada
bahasanya, keseniannya, tradisinya dan ide-ide yang diyakinkannya.
Lahirlah
tarling untuk menyatakan dirinya sejajar dalam koeksistensinya dengan Barat
dicontohnya gitar, ditaklukannya dia lalu dimasukannya kedalam sistem nilai
timur ( gamelan ), untuk kemudian betul-betul menjadi Cirebon. Lahir pula seni
Burok dengan ditingkahi musik dog-dog, ia adalah Cirebon yang lahir dari Trans
Kultural dengan angka persilangan budaya didalamnya, Burok walaupun dalam
perwujudannya lahir dari sinkretisme Agama kultur Hamiyah-Samiyah (AD, AL
Marzdedek, Parasit Akidah), ia dianggap mewakili Islam. Macan mewakili kultur
keberanian dan kegagahan Siliwangi dan Cirebon, gajah akulturasi dari Hindu,
kadang-kadang dalam seni Burok ini ditampilkan barongan (dari barongsai) tapi
dengan pemain tunggal, bolehlah ia dianggap mewakili budaya Cina.
Pada tahap
perkembangan tahun 1970-an seni burok diiringi musik tambahan gitar dengan
iringan pujian Shalawat dan lantunan syair-syair Berjanzi lalu seiring
perkembangan zaman seni ini termarjinalkan karena serbuan industri hiburan
moderen. Nasibnya sama dengan tarling. Kedua kesenian ini kemudian
bermetamorfose. Burok memadukan dog-dognya dengan dangdut, bahkan nuansa
dangdutnya lebih dominan. Tarlingpun menjadi tarling dangdut lalu berkembang
menjadi dangdut Cirebonan.
Namun
perkembangan seni yang semula penuh makna simbolis filosofi religi, kini hanya
mengedepankan nilai hiburannya saja, terdegredasi, mubadzir dan nilai rendah
jauh dari agama dan kesantunan budaya asli Cirebon. Keduanya masih tetap
Cirebon, tapi Cirebon yang sudah tercabut dari akarnya, semula dibangun sebagai
bentuk pembebasan diri atau pemerdekaan, sekarang kembali jatuh menjadi kultur
Subaltern (bawahan /jajahan) budaya lain.
Kota Cirebon
memiliki berbagai seni dan budaya tradisional khas yang bernuansa Islam serta
bercirikan tentang kehidupan dan perjuangan. Kota Cirebon juga memiliki
event-event tradisional yang hingga saat ini masih dilaksanakan, seperti
sedekah bumi/Mapag sri, Nadran (sepanjang wilayah pantai utara) dan muludan
(setiap bulan maulid di kalender Islam).
Kebudayaan
yang ada di Kota Cirebon sebenarnya memiliki potensi yang sangat potensial
untuk dikembangkan sehingga dapat diberdayakan menjadi nilai tinggi yang dapat
dilestarikan dan dapat disajikan nilai komoditas pariwisata sebagai daya tarik
tersendiri di Kota Cirebon.
Kesenian,
tradisi dan unsur-unsur nilai budaya yang amat luhur sebagai faktor penunjang
dalam menyokong pembangunan di wilayah Kota Cirebon. Budaya yang cenderung religius
berbaur dengan budaya Keraton yang bernuansa kerajaan sangat khas dan amat
menonjol sebagai ciri khas yang amat kental di Kota Cirebon.
ADAT ISTIADAT MASYARAKAT KOTA CIREBON
1.Syawalan Gunung Jati
Syawalan Gunung Jati merupakan tradisi ziarah pada bulan syawal setelah idul fitri ke makam Sunan Gunung Jati. Pada bulan ini, masyarakat Cirebon biasa melakukan ziarah dan tahlilan di makam Sunan Gunung Jati Cirebon. Setiap Syawalan biasanya tempat ziarah makam Sunan Gunung Jati dipenuhi para peziarah hampir dari semua daerah Cirebon dan daerah lain di sekitarnya.
Syawalan Gunung Jati merupakan tradisi ziarah pada bulan syawal setelah idul fitri ke makam Sunan Gunung Jati. Pada bulan ini, masyarakat Cirebon biasa melakukan ziarah dan tahlilan di makam Sunan Gunung Jati Cirebon. Setiap Syawalan biasanya tempat ziarah makam Sunan Gunung Jati dipenuhi para peziarah hampir dari semua daerah Cirebon dan daerah lain di sekitarnya.
2. ganti Walit
Ganti Walit adalah upacara adat di makam kramat Trusmi Cirebon. Upacara yang dilaksanakan setiap tahun di Makam Kramat Trusmi ini bertujuan untuk mengganti atap makam keluarga Ki Buyut Trusmi yang menggunakan Welit (anyaman daun kelapa). Upacara ini dilakukan oleh masyarakat Trusmi Cirebon. Biasanya dilaksanakan setiap tanggal 25 bulan Maulud.
Ganti Walit adalah upacara adat di makam kramat Trusmi Cirebon. Upacara yang dilaksanakan setiap tahun di Makam Kramat Trusmi ini bertujuan untuk mengganti atap makam keluarga Ki Buyut Trusmi yang menggunakan Welit (anyaman daun kelapa). Upacara ini dilakukan oleh masyarakat Trusmi Cirebon. Biasanya dilaksanakan setiap tanggal 25 bulan Maulud.
3. Rajaban
Rajaban adalah tradisi upacara dan ziarah ke makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan di Plangon. Rajaban umumnya dihadiri oleh para kerabat dari keturunan kedua pangeran tersebut. Ziarah ini dilaksanakan setiap tanggal 27 Rajab. Obyek wisata ini terletak di Plangon Kelurahan Babakan Kecamatan Sumber, kurang lebih 1 Km dari pusat kota Sumber.
Rajaban adalah tradisi upacara dan ziarah ke makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan di Plangon. Rajaban umumnya dihadiri oleh para kerabat dari keturunan kedua pangeran tersebut. Ziarah ini dilaksanakan setiap tanggal 27 Rajab. Obyek wisata ini terletak di Plangon Kelurahan Babakan Kecamatan Sumber, kurang lebih 1 Km dari pusat kota Sumber.
4. Ganti Sirap
Ganti Sirap merupakan upacara 4 tahunan (dilaksanakan setiap 4 tahun sekali) di makam kramat Ki Buyut Trusmi untuk mengganti atap makam yang menggunakan Sirap. Upacara ini biasanya dimeriahkan dengan pertunjukan wayang kulit dan terbang. Sirap adalah bahasa Cerbon yang atap.
Ganti Sirap merupakan upacara 4 tahunan (dilaksanakan setiap 4 tahun sekali) di makam kramat Ki Buyut Trusmi untuk mengganti atap makam yang menggunakan Sirap. Upacara ini biasanya dimeriahkan dengan pertunjukan wayang kulit dan terbang. Sirap adalah bahasa Cerbon yang atap.
5. Muludan
Muludan merupakan upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud (Maulud) di Makam Sunan Gunung Jati. Kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan /menyuci Pusaka Keraton yang dikenal dengan istilah ”Panjang Jimat”. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 8-12 Mulud. Sedangkan pusat kegiatannya berada di sekitar Kraton Kasepuhan.
Muludan merupakan upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud (Maulud) di Makam Sunan Gunung Jati. Kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan /menyuci Pusaka Keraton yang dikenal dengan istilah ”Panjang Jimat”. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 8-12 Mulud. Sedangkan pusat kegiatannya berada di sekitar Kraton Kasepuhan.
6. Salawean Trusmi
Selawean Trusmi merupakan salah satu kegiatan ziarah yang dilaksanakan di Makam Ki Buyut Trusmi. Dalam ziarah, biasanya diisi dengan tahlilan di makam Ki Buyut Trusmi. Selawean (bahasa Cerbon) berarti dua puluh lima, oleh karena itu kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 25 bulanMulud.
Selawean Trusmi merupakan salah satu kegiatan ziarah yang dilaksanakan di Makam Ki Buyut Trusmi. Dalam ziarah, biasanya diisi dengan tahlilan di makam Ki Buyut Trusmi. Selawean (bahasa Cerbon) berarti dua puluh lima, oleh karena itu kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 25 bulanMulud.
7. Nadran
Nadran atau pesta laut, sesuai dengan namanya, dilaksanakan oleh masyarakat nelayan sebagai upacara terima kasih kepada Sang Pencipta (Allah SWT) yang telah memberikan rezeki dengan tujuan untuk mengharapkan keselamatan. Upacara Nadran dilaksanakan hampir sepanjang pantai (tempat berlabuh para nelayan) dengan kegiatan yang sangat bervariasi. Upacara ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali.
Nadran atau pesta laut, sesuai dengan namanya, dilaksanakan oleh masyarakat nelayan sebagai upacara terima kasih kepada Sang Pencipta (Allah SWT) yang telah memberikan rezeki dengan tujuan untuk mengharapkan keselamatan. Upacara Nadran dilaksanakan hampir sepanjang pantai (tempat berlabuh para nelayan) dengan kegiatan yang sangat bervariasi. Upacara ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali.
KESENIAN DAN TRADISI KHAS CIREBON
Tari topeng adalah salah satu tarian tradisional yang ada di Cirebon. Tari ini dinamakan tari topeng karena ketika beraksi sang penari memakai topeng. Konon pada awalnya, Tari Topeng diciptakan oleh sultan Cirebon yang cukup terkenal, yaitu Sunan Gunung Jati. Ketika Sunan Gunung Jati berkuasa di Cirebon, terjadilah serangan oleh Pangeran Welang dari Karawang. Pangeran ini sangat sakti karena memiliki pedang Curug Sewu. Melihat kesaktian sang pangeran tersebut, Sunan Gunung Jati tidak bisa menandinginya walaupun telah dibantu oleh Sunan Kalijaga dan Pangeran Cakrabuana. Akhirnya sultan Cirebon memutuskan untuk melawan kesaktian Pangeran Welang itu dengan cara diplomasi kesenian.
Berawal dari keputusan itulah kemudian terbentuk kelompok tari, dengan Nyi Mas Gandasari sebagai penarinya. Setelah kesenian itu terkenal, akhirnya Pangeran Welang jatuh cinta pada penari itu, dan menyerahkan pedang Curug Sewu itu sebagai pertanda cintanya. Bersamaan dengan penyerahan pedang itulah, akhirnya Pangeran Welang kehilangan kesaktiannya dan kemudian menyerah pada Sunan Gunung Jati. Pangeran itupun berjanji akan menjadi pengikut setia Sunan Gunung Jati yang ditandai dengan bergantinya nama Pangeran Welang menjadi Pangeran Graksan. Seiring dengan berjalannya waktu, tarian inipun kemudian lebih dikenal dengan nama Tari Topeng dan masih berkembang hingga sekarang
Dalam tarian ini biasanya sang penari berganti topeng hingga tiga kali secara simultan, yaitu topeng warna putih, kemudian biru dan ditutup dengan topeng warna merah. Uniknya, tiap warna topeng yang dikenakan, gamelan yang ditabuh pun semakin keras sebagai perlambang dari karakter tokoh yang diperankan. Tarian ini diawali dengan formasi membungkuk, formasi ini melambangkan penghormatan kepada penonton dan sekaligus pertanda bahwa tarian akan dimulai. Setelah itu, kaki para penari digerakkan melangkah maju-mundur yang diiringi dengan rentangan tangan dan senyuman kepada para penontonnya.
Gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan membelakangi penonton dengan menggoyangkan pinggulnya sambil memakai topeng berwarna putih, topeng ini menyimbolkan bahwa pertunjukan pendahuluan sudah dimulai. Setelah berputar-putar menggerakkan tubuhnya, kemudian para penari itu berbalik arah membelakangi para penonton sambil mengganti topeng yang berwarna putih itu dengan topeng berwarna biru. Proses serupa juga dilakukan ketika penari berganti topeng yang berwarna merah. Uniknya, seiring dengan pergantian topeng itu, alunan musik yang mengiringinya maupun gerakan sang penari juga semakin keras. Puncak alunan musik paling keras terjadi ketika topeng warna merah dipakai para penari.
Setiap pergantian warna topeng itu menunjukan karakter tokoh yang dimainkan, misalnya warna putih. Warna ini melambangkan tokoh yang punya karakter lembut dan alim. Sedangkan topeng warna biru, warna itu menggambarkan karakter sang ratu yang lincah dan anggun. Kemudian yang terakhir, warna merah menggambarkan karakter yang berangasan (temperamental) dan tidak sabaran. Dan busana yang dikenakan penari biasanya selalu memiliki unsur warna kuning, hijau dan merah yang terdiri dari toka-toka, apok, kebaya, sinjang, dan ampreng
Jika anda berminat untuk menyaksikan tarian yang dimainkan oleh satu atau beberapa orang penari cantik, seorang sinden, dan sepuluh orang laki-laki yang memainkan alat musik pengiring, di antaranya rebab, kecrek, kulanter, ketuk, gendang, gong, dan bendhe ini, silakan datang saja ke Cirebon. Tarian ini biasanya akan dipentaskan ketika ada acara-acara kepemerintahan, hajatan sunatan, perkawinan maupun acara-acara rakyat lainnya.
2. Sintren
Di tengah-tengah kawih, muncullah Sintren yang
masih muda belia. Yang konon haruslah seorang gadis, karena kalau Sintren
dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang
pas. Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki,
sehingga secara logika, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut
dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan)
yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan
terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya
membaca doa dengan asap kemenyan mengepul. Dan Juru kawih pun terus
berulang-ulang nembang.
Ketika kurungan dibuka, anehnya sang sintren
telah berganti busana lengkap dengan kaca mata hitam. Setelah itu sang sintren
pun akan menari. Tarian sintren sendiri lebih mirip orang yang ditinggalkan
rohnya. Terkesan monoton dengan gesture yang kaku dan kosong. Dan disinilah
uniknya kesenian ini. Ketika sang sintren menari, para penonton akan
melemparkan uang logam ke tubuh sang penari. Ketika uang logam itu mengenai
tubuhnya, maka penari sintren pun akan pingsan dan baru akan bangun kembali
setelah diberi mantra-mantra oleh sang pawang.
Setelah bangun kembali, sang penari sintren pun
meneruskan kembali tariannya sampai jatuh pingsan lagi ketika ada uang logam
yang mengenai tubuhnya. Dan konon, ketika menari tersebut, pemain sintren
memang dalam keadaan tidak sadar alias kerasukan. Misteri ini hingga kini belum
terungkap, apakah betul seorang Sintren berada dibawah alam sadarnya atau hanya
sekadar untuk lebih optimal dalam pertunjukan yang jarang tersebut. Terlepas
dari ada tidaknya unsur magis dalam kesenian ini, tetap saja kesenian ini cukup
menarik untuk disaksikan.
Bagi anda yang tertarik ingin mementaskan
kesenian ini di daerah anda, setidaknya di Cirebon ada dua grup Sintren yang
masih eksis dan produktif, masing masing pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju, yang
beralamat di Jl. Yos Sudarso, Desa Cingkul Tengah, Gang Deli Raya, Cirebon,
Jawa Barat. Kedua kelompok ini sering diundang pentas di berbagai kota di
Indonesia, bahkan hingga ke luar negeri.
3. Kesenian Gembyung
Seni Gembyung merupakan salah satu kesenian
peninggalan para wali di Cirebon. Seni ini merupakan pengembangan dari kesenian
Terbang yang hidup di lingkungan pesantren. Konon seperti halnya kesenian
terbang, gembyung digunakan oleh para wali yang dalam hal ini Sunan Bonang dan
Sunan Kalijaga sebagai media untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon. Kesenian
Gembyung ini biasa dipertunjukkan pada upacara-upacara kegiatan Agama Islam
seperti peringatan Maulid Nabi, Rajaban dan Kegiatan 1 Syuro yang digelar di
sekitar tempat ibadah. Untuk pastinya kapan kesenian ini mulai berkembang di
Cirebon tak ada yang tahu pasti. Yang jelas kesenian Gembyung muncul di daerah
Cirebon setelah kesenian terbang hidup cukup lama di daerah tersebut.Gembyung
merupakan jenis musik ensambel yang di dominasi oleh alat musik yang disebut
waditra. Meskipun demikian, di lapangan ditemukan beberapa kesenian Gembyung
yang tidak menggunakan waditra tarompet
Setelah berkembang menjadi Gembyung, tidak hanya
eksis dilingkungan pesantren, karena pada gilirannya kesenian ini pun banyak
dipentaskan di kalangan masyarakat untuk perayaan khitanan, perkawinan, bongkar
bumi, mapag sri, dan lain-lain. Dan pada perkembangannya, kesenian ini banyak
di kombinasikan dengan kesenian lain. Di beberapa daerah wilayah Cirebon,
kesenian Gembyung telah dipengaruhi oleh seni tarling dan jaipongan. Hal ini
tampak dari lagu-lagu Tarling dan Jaipongan yang sering dibawakan pada
pertunjukan Gembyung. Kecuali Gembyung yang ada di daerah Argasunya, menurut
catatan Abun Abu Haer, seorang pemerhati Gembyung Cirebon sampai saat ini masih
dalam konteks seni yang kental dengan unsur keislamannya. Ini menunjukkan masih
ada kesenian Gembyung yang berada di daerah Cirebon yang tidak terpengaruh oleh
perkembangan masyarakat pendukungnya.
Kesenian Gembyung seperti ini dapat ditemukan di
daearah Cibogo, Kopiluhur, dan Kampung Benda, Cirebon. Alat musik kesenian
Gembyung Cirebon ini adalah 4 buah kempling (kempling siji, kempling loro,
kempling telu dan kempling papat), Bangker dan Kendang. Lagu-lagu yang
disajikan pada pertunjukan Gembyung tersebut antara lain Assalamualaikum,
Basmalah, Salawat Nabi dan Salawat Badar. Busana yang dipergunakan oleh para
pemain kesenian ini adalah busana yang biasa dipakai untuk ibadah shalat
seperti memakai kopeah (peci), Baju Kampret atau kemeja putih, dan kain sarung.
4. Lukisan Kaca
Konon sejak abad ke 17 Masehi, Lukisan Kaca telah
dikenal di Cirebon, bersamaan dengan berkembanganya Agama Islam di Pula Jawa.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu di Cirebon, Lukisan Kaca sangat terkenal
sebagai media dakwah Islam yang berupa Lukisan Kaca Kaligrafi dan Lukisan Kaca
Wayang.
Sejalan dengan perkembangan waktu, maka
perkembangan Lukisan Kaca masih terasa eksistensinya sebagai Cinderamata
Spesifik Khas Cirebon. Mengapa Lukisan Kaca disebut sebagai produk spesifik?
Karena Lukisan Kaca Cirebon dilukis dengan teknik melukis terbalik, kaya akan
gradasi warna dan harmonisasi nuansa dekoratif serta menampilkan ornamen atau
ragam hias Motif Mega Mendung dan Wadasan yang kita kenal sebagai Motif Batik
Cirebon.
5. Batik
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni
tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak
lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka
dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan
membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya Batik Cap
yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa
pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis
maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak Mega Mendung, dimana di beberapa
daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki
Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh
berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang
terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun
batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan
juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan
oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix.. Bangsa Eropa juga
mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya
tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh
penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka
seperti warna biru. Batik tradisional tetap mempertahankan coraknya, dan masih
dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak
memiliki perlambangan masing-masing. (Sumber : Fahmina Institute, Cirebon)
\
0 komentar:
Posting Komentar